Perempuan di Ujung Mimpi
Malam ini bimbang seperti dedaunan tersapu geliat angin musim gugur. Luka-luka yang terlahir prematur terus memenuhi isi otak. Sementara menit mulai merayap pelan, menuntun perih penantian semakin menjadi-jadi. Dan di luar jendela, bulan hanya memandang beku, sibuk sendiri mencari jalannya. Terjebak tersandung di antara kumpulan awan.
Dan ku rindu kembali lembut bibirmu menjamahi wajahku, juga leherku. Ku rindu nafasmu mengaliri dada saat kita berbagi hangat melawan malam yang khianat. Ku rindu tawamu memenuhi ruang kosong yang mengurungku di sini. Juga panas tatapmu yang jadi sumber inspirasiku. Kini pikiranku mati. Kertas dan pulpen hanya ku telantarkan bisu di meja. Ku buang pandangan jauh keluar jendela, mencari jawaban-jawaban dari pertanyaan yang mungkin sebenarnya tidak pernah perlu ada.
Sementara, bergumam berisik di belakangku, bibir televisi terus saja memperbincangkan kebobrokan ekonomi. Harga dolar yang kembali merangkak naik. Mengingatkanku pada ibu-ibu penjual cabe yang terpaksa menambah timbangan untuk membayar buku sekolah lima orang anaknya – yang kenyataannya tidak cuma merengekkan buku. Atau juga para penarik becak yang seringkali melamun, untuk mencoba mengingat-ingat mimpi yang dulu pernah mereka titipkan pada penguasa negara – tapi kini, disinggung pun tidak.
Semua berita menyiksaku dengan hujan kata-kata. Koran pun tak jauh beda. Semua berkata sama, berita hanya derita. Fakta-fakta yang kembali mencoba menyeretku untuk peduli kepada realita kehidupan sosial. Tapi.. tapi.. siapa aku ini? Diriku sendiripun kadang tak ku kenal. Aku cuma lelaki mimpi. Yang hanya ingin menemukan pagi.
Dan penantianku diakhiri oleh bunyi ringtone handphone di meja. Segera ku saja ku raih dan mengangkatnya.
“Halo, Mas Rio..”, ucap suara di seberang, suara yang begitu ku kenal.
“Halo, Na”, ku beratkan suaraku. Akhirnya kamu nelpon juga.
“Mas, belum tidur?”
“Belum..”
“Jangan kebanyakan begadang, Mas.., tar gampang sakit loh..”
Aku ngga bisa tidur garagara nunggu telepon kamu, bodoh!, ucapku sebal dalam batin. Tapi ku keluarkan kata yang lain dari mulutku, “Iya, bentar lagi Mas juga tidur.”
“Aku kangen sama kamu, Mas..”
Aku kangen setengah mati malah. Tapi ku putuskan untuk diam saja. Biar keheningan yang menjawab kalimatnya.
“Mungkin akhir pekan ini kita bisa ketemuan”, suaranya memecah sepi, “Suamiku pergi dinas ke luar kota.”
“Aku.. aku mungkin sibuk..”, ku jawab sekenanya, padahal ada rasa lega luar biasa menyeruak di dadaku mendengar ajakannya.
“Mas..?”
“Iya?”
“Kamu ngga papa, kan?”
“Ngga papa, Na”, jawabku sambil memejam mata, mendengar batinku mengerang, Ga papa gimana? Kamu ini bodoh atau emang ngga punya perasaan?.
Aku diam sejenak lalu ku lanjutkan.
“Kenapa memangnya, Na?”
“Suara Mas agak aneh, aku khawatir Mas sakit..”
“Akh.. Ngga papa kok, Yang. Paling agak kecapekan nyari ide buat nulis.”
“Oh..” Suaranya menggantung, setengah dipaksakan, “Weekend, kalo Mas ngga sibuk, telpon ya, Mas. Kita jalan ke tempat biasa.”
“OK. Nanti Mas hubungi deh”, sahutku. Sekalian saja kau pamit ke suamimu, karena mungkin aku akan melarikanmu ke ujung dunia, batinku kembali berbisik.
“OK, aku tunggu telepon Mas”, katanya memecah lamunanku, “Bye honey, jangan tidur kemaleman..”
“OK, Bye.”
Ucapanku itu mengakhiri pembicaraan. Ku letakkan kembali handphone-ku ke meja. Sejenak ku hela nafas, dan seketika mataku kembali terpaku pada suasana di luar jendela. Anehnya, tiba-tiba saja malam nampak lebih bersahabat. Yah.. meskipun singkat, perbincangan-perbincangan seperti inilah yang membuatku tetap ingin bertahan hidup. Dan mungkin sekaligus mendekatkanku pada pekat kematian.
Kali ini sebuah SMS membunyikan HPku. Meski belum melihatnya, aku sangat yakin siapa pengirimnya. Ku ambil lagi handphone itu lalu membukanya.
Ku baca sejenak, dan lalu ku pandangi teks SMS itu. Cukup lama. Isi SMS itu membuatku berpikir. Ku kerutkan alis. Dalam otakku berperang segala macam pikiran. Sebal. Menyesal. Marah. Pada perempuan itu. Pada diriku. Pada hidup ini.
Ku pandangi lagi SMS itu.
“Mas, andai kita bisa seperti dulu lagi... tidak perlu semua kekonyolan ini.”
Bodoh!
Mungkin jika kamu tidak perlu mengenal lelaki pegawai perusahaan minyak itu, kita tidak perlu begini.
Kau tinggalkan aku meratapi kesepian panjang. Mengais-ngais nyawaku yang memutuskan untuk tidak percaya lagi pada matahari. Lalu tiba-tiba kau terbitkan lagi harapan yang dulu sudah ku kubur rapi di persimpangan hidupku. Kau bangkitkan lagi gairah impian yang pernah kita bangun bersama. Dan herannya, aku masih saja ingin percaya.
Seperti juga malam ini. Ku terus bertanya bagaimana bisa aku jatuh cinta pada perempuan seperti dirimu. Tapi, selamanya juga ku cuma bisa bertanya, sambil terhanyut dalam indahmu.
Ah, mungkin saja ku temui kau lagi di ujung mimpiku malam ini.
Dhanang Wibowo
Baru aja dapet dr penulisnya, plus ijin utk nampilin karya dia di blog gw.
Thanks ya Dhan...

Mgkn karena penulisnya cowk, tokoh utamanya jadi cowk juga.
Gimana klo posisi dirubah ya, cewk yg jadi tokoh utama...?
Gw pikir, perasaan cowk ama cewk jika berada di posisi yg sama
seperti karya Dhanang di atas, ga bakal jauh beda.
Yaaah...karena arti CINTA bagi Adam dan Hawa adalah sama,
kecuali...jika porsi CINTA yg diberikan masing2 Adam dan Hawa terhadap pasangannya berbeda.
Mgkn saja CINTA Hawa lebih besar ke Adam, atau sebaliknya.
Porsi CINTA itu yg menjadi tolak ukur berapa besar Kebahagiaan atau Kesedihan
yang akan kita dapat dari suatu hubungan.
Tapi, itu menurut gw lho...so, gimana mnrt teman2...?